Rabu, 23 Januari 2013

Penyakit TBC

Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.


Penyebab Penyakit TBC


Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).


Cara Penularan Penyakit TBC

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.

Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.

Gejala Penyakit TBC

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

Gejala sistemik/umum

  • Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
  • Penurunan nafsu makan dan berat badan.
  • Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
  • Perasaan tidak enak (malaise), lemah.


Gejala khusus

  • Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
  • Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
  • Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
  • Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.


Penegakan Diagnosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
  • Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
  • Pemeriksaan fisik.
  • Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
  • Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
  • Rontgen dada (thorax photo).
  • Uji tuberkulin.

Pengobatan TBC

Bila anak positif sakit TBC, maka harus diobati sampai benar-benar sembuh.  Kombinasi obat anti TBC (OAT) untuk anak adalah Isoniasid (INH), Rifampisin, dan Pirazinamid.  Ketiga obat tersebut diberikan selama 2 bulan pertama, lalu setelah itu, yaitu mulai bukan ketiga sampai keenam (4 bulan berikutnya) hanya diberikan kombinasi INH dan Rifampisin.  Untuk bisa sembuh, anak (dan orang dewasa) penderita TB harus mengkonsumsi OAT secara teratur, setiap hari, dan dalam jangka waktu lama.  Bakteri TB ini ’mati’ secara sangat perlahan.  Butuh waktu minimal 6 bulan untuk ’membunuh’ semua bakteri Tb dalam tubuh.  Setelah mengkonsumsi OAT selama 2 minggu, anak mungkin akan merasa lebih baik dan tampak sehat.  Tetapi ia tetap harus mengonsumsi OAT sampai selesai masa pengobatannya, karena pada saat itu belum semua bakteri TB mati.

Pada anak, lamanya pengobatan TB ini tergantung dari jenis TB yang diderita.  Untuk TB paru-paru (pulmonary TB), lama pengobatan cukup 6 bulan saja.  Alasannya, kuman TB yang ’hidup’ dalam tubuh anak penderita TB aktif, jumlahnya jauh lebih sedikit daripada kuman yang ada dalam orang dewasa penderita TB aktif.  Kenapa bisa begitu? Ini adalah berkat ’perlindungan’ dari imunisasi BCG.  Sisa kuman yang masih ada setelah terapi pengobatan selesai, sudah tidak dapat berkembang biak lagi sehingga tidak berbahaya.  Namun, untuk jenis TB yang lebih berat, yakni meningeal TB dan miliary TB, lamanya pengobatan setidaknya 9 bulan.

Bagaimana bila anak melewatkan dosis OAT-nya? Menurut dr. Davide dari WHO Indonesia pada seminar PESAT 5 (4 Maret 2006), apabila anak penderita TBC aktif melewatkan dosis OAT sampai maksimal 7 dosis (berarti 1 minggu), ia tidak perlu mengulang dari awal lagi, cukup meneruskan saja sisa masa terapinya.  Karena jumlah kuman TB dalam tubuh anak jauh lebih sedikit daripada yang ada dalam tubuh orang dewasa, sehingga resistensi kuman juga menjadi jauh lebih rendah.  Tetapi bila lewat lebih dari 1 minggu dan atau hal itu terjadi berulangkali, orangtua harus segera berkonsultasi dengan petugas kesehatan (dokter) yang berwenang.

Efek Samping OAT
Ketiga obat anti TBC tersebut sebenarnya bersifat racun bagi hati, apalagi karena harus dikonsumsi dalam jangka panjang.  Oleh karena, setelah selesai masa pengobatan, biasanya dokter memeriksa fungsi kerja hati (SGOT/SGPT).  Isoniazid atau INH juga dapat menimbulkan reaksi negatif berupa kesemutan, nyeri otot, bahkan gangguan kesadaran.  Untuk mengurangi efek tersebut, diberikan suplemen vitamin B6 (piridoxin) selama masa pengobatan.

Obat anti TBC untuk orang dewasa, selain INH, Rifampisin dan Pirazinamid, juga ada satu jenis obat lagi yaitu etambutol. Tetapi, jenis obat yang satu ini tidak diberikan untuk anak-anak yang ’hanya’ sakit TB paru-paru.  Karena efek samping etambutol pada anak berusia kurang dari 8 tahun adalah buta warna dan/atau pandangan terbatas (seperti memakai kacamata kuda).  Meski demikian, pada anak dengan kasus sakit TB yang berat (TB meningitis atau milier), ’terpaksa’ harus menggunakan etambutol, dengan catatan dosisnya harus tepat.

Mengingat demikian beratnya efek samping OAT, sudah seharusnya bila orangtua benar-benar memastikan apakah anak sakit TB atau tidak.  TB/HIV Clinical Manual yang diterbitkan oleh WHO menyebutkan bahwa inisiasi (pemulaian) pengobatan TBC pada anak merupakan proses aktif.  Apabila secara umum anak tidak tampak ’sakit’, tak perlu terburu-buru untuk memulainya! Alih-alih demikian, sebaiknya orangtua bersama-sama dengan dokter yang menangani anak, melakukan pengamatan yang lebih mendalam lagi tentang kondisi anak.  Ini karena kerja TBC pada anak tidak sama seperti TBC pada orang dewasa.  Jumlah kuman TBC yang ada dalam tubuh anak jauh lebih sedikit dari jumlah yang ada dalam tubuh orang dewasa, dengan sendirinya perkembangan penyakit itu juga lebih lambat pada anak.  Tapi lain ceritanya, bila kondisi anak terlihat parah – sampai tidak dapat bangun, misalnya – atau usia anak masih sangat muda (di bawah 1 tahun).  Pada kondisi-kondisi tersebut, pengobatan mau tidak mau harus segera dimulai.

TB Laten.  Apakah Itu?
Istilah laten TB atau TB laten ini sering kita temui di internet.  Sesungguhnya, yang dimaksud dengan TB laten adalah orang yang terinfeksi bakteri TB tetapi tidak menjadi sakit TB (mengidap TB aktif).  Dengan kata lain TB laten adalah infeksi TB.  Dikatakan laten karena kuman TB tidak aktif tetapi juga tidak mati, melainkan tidur lama (dorman).  TB pada kondisi ini tidak menular.

Orang dengan infeksi ini, tidak menunjukkan gejala-gejala TB dan sama sekali tidak merasa sakit.  Bahkan foto rontgen paru-parunya normal dan bila dites dahaknya pun akan negatif.  Keberadaan TB laten atau infeksi TB ini hanya bisa dideteksi melalui uji tuberkulin atau pemeriksaan darah khusus TB.
Karena sistem imun tubuhnya memang belum sempurna, maka anak-anak balita adalah kelompok yang paling rentan terinfeksi kuman TB.  Tetapi berkat vaksin BCG yang diberikan segera setelah bayi lahir, membuat anak tidak berkembang menjadi sakit TB.  Anak yang terinfeksi TB ini ibarat bom waktu, yang akan ’meledak’ sewaktu-waktu bila kondisinya tepat.  Yang dimaksud dengan kondisi yang tepat adalah pada saat daya tahan tubuh anak sedang menurun karena sedang sakit berat (karena penyakit lain), atau bisa juga penyakit TBC-nya muncul setelah si anak tumbuh dewasa atau berusia lanjut.

Karenanya, apabila anak positif terinfeksi TB, walaupun tidak berkembang menjadi sakit TB, tetap perlu diberi pengobatan pencegahan (profilaksis).  Jumlah bakteri TB dalam infeksi TB lebih sedikit dari TB aktif, sehingga penanganannya pun lebih mudah, cukup dengan satu jenis  obat saja, yaitu INH (isoniazid).  Lama pengobatan pencegahan ini, menurut Pedoman Nasional Tuberkulosis, berlangsung selama 6 bulan saja, tidak lebih!  Akan tetapi, profilaksis hanya efektif bila anak berusia < 5 tahun. Pengobatan pencegahan TBC untuk orang dewasa yang tinggal di Indonesia, sama sekali tidak efektif alias percuma.  Mengapa demikian? Karena negara Indonesia ini bisa dibaratkan sebagai reservoir besar kuman TB, sehingga bisa dikatakan sebagian besar orang dewasa di Indonesia sudah terinfeksi kuman TB.

Pencegahan Tuberculosis
Karena sumber penularan TB adalah orang-orang dewasa yang sehari-hari dekat dengan anak, maka mereka lah yang harus ditangani dengan baik dan benar.  Jika orangtua mencurigai dirinya atau anggota keluarga (yang serumah) lain memiliki gejala-gejala TBC, segera periksakan ke dokter untuk memastikan apakah menderita TBC aktif atau tidak.  Jika ternyata ada yang positif mengidap TBC aktif, tentunya anak harus diberi profilaksis INH, dan  orang-orang lain yang tinggal serumah juga harus segera diperiksa kondisi kesehatannya.  Sedangkan orang yang positif mengidap TBC aktif harus dipastikan mengkonsumsi OAT-nya secara teratur sampai masa pengobatannya selesai.  Akan lebih baik apabila screening ini dilakukan sebelum bayi lahir atau bahkan sebelum ibu hamil.

Imunisasi dengan vaksin BCG sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit TBC.  Vaksin ini akan memberi tubuh kekebalan aktif terhadap penyakit TBC.  Vaksin ini hanya perlu diberikan sekali seumur hidup, karena pemberian lebih dari sekali pun tidak berpengaruh.  Tetapi imunisasi BCG juga tidak sepenuhnya dapat melindungi manusia dari serangan TBC.  Tingkat efektivitas vaksin BCG memang ’hanya’  70-80 %.  Beberapa negara maju menetapkan kebijakan tidak perlu imunisasi BCG, cukup mengawasi dengan ketat kelompok yang beresiko tinggi.  Tetapi untuk Indonesia, vaksin ini masih sangat dibutuhkan, mengingat posisi Indonesia yang no 3 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak.

Vaksin BCG akan sangat efektif bila diberikan segera setelah lahir atau paling lambat 2 bulan setelah lahir (dengan catatan selama itu bayi tidak kontak dengan pengidap TB aktif).  Meskipun BCG tidak dapat 100% mencegah TBC paru-paru, tetapi pemberian vaksin ini akan melindungi anak dari bentuk-bentuk TBC yang lebih ganas (meningeal TB dan miliary TB).  Anak yang sudah diimunisasi BCG, lalu terinfeksi kuman TB, umumnya tidak berkembang menjadi sakit.  Kalaupun sampai berkembang menjadi TB aktif, biasanya perkembangbiakan kuman akan terlokalisir di paru-paru saja (pulmonary TB). Selain imunisasi, orangtua juga harus memperhatikan asupan gizi anak.  Asupan gizi yang baik ditambah imunisasi BCG, diharapkan cukup ampuh menangkal serangan bakteri TB.  Kalaupun anak sampai terinfeksi, dampaknya akan lebih ringan.